Selasa, 04 Februari 2020
PAKAIAN ADAT PALEMBANG (Aesan paksangko)
Pakaian adat ini penuh dengan simbol keagungan, elemen ini merupakan hal yang disengaja ditonjolkan dengan tampilan busana ini. Secara garis besar, Palembang memiliki dua jenis busana adat pengantin, yaitu pakaian adat Aesan Gede dan Aesan Paksangko. Keduanya memiliki kesamaan, namun memiliki ciri khas yang berbeda. Namun tetap sama-sama menggambarkan kebesaran kerajaan Palembang. Hal ini dikarenakan busana ini merupakan busana yang digunakna oleh kalangan kerajaan dan bangsawan di Palembang di masa lalu. Namun di masa sekarang, busana ini banyak digunakan sebagai pakaian adat di upacara pernikahan. Walaupun, ada beberapa perbedaan yang terlihat pada gaya busana adat Palembang. Sehingga di masa sekarang, justru kerap ditemukan hal yang melenceng dari tata cara aturan berpakaian pakaian adat ini di masa lalu. Penambahan dan pengurangan yang berlebihan dipandang dapat merusak tatanan tradisi berbusana pada pengantin Palembang di masa depan.
Baju adat Aesang Paksangko ini nampak anggun di saat pertama kali dilihat. Baju adat ini terdiri atas baju kurung yang bermotif detil bunga bintang keemasan yang disempurnakan dengan tengkupan terate dada. Bagian bawah dari baju adat ini dipadukan dengan balutan songket berkilau sehingga kesan mewah juga cukup nampak dari busana ini. Model mahkota paksangko diperkaya ragam aksesori keemasan yang menghiasi kepala merupakan salah satu jejak pengaruh kuat akulturasi budaya Tionghoa sejak berabad silam di tanah Palembang.Selain menggunakan mahkota paksangko, pengantin perempuan juga dihiasi kembang goyang di bagian kepala, kembang kenango, kelapo standan, dan lain-lain. Sedangkan pengantin pria mengenakan busana senada dengan seluar pengantin (celana pengantin), selempang songket, serta songkok (kopiah) berwarna emas. Selain itu, busana adat ini juga bisa dipadukan dengan kebaya modern yang menggunakan model baju kurung.
RUMAH LIMAS
Hampir seluruh bagian dari Rumah Limas terbentuk dari kayu. Pemilihan kayu dilakukan bukan tanpa sebab, namun menyesuaikan dengan karakter kayu dan kepercayaan masyarakat di Sumatera Selatan. Uniknya, jenis kayu-kayu yang digunakan merupakan kayu unggulan dan dikabarkan hanya tumbuh subur di daerah yang beribukota di Palembang.
Untuk bagian pondasi biasanya menggunakan kayu unglen, kayu yang berstruktur kuat dan tahan air. Sedangkan bagian kerangka rumah, digunakan kayu Seru. Kayu ini cukup langka dan sengaja tidak digunakan untuk bagian bawah rumah karena dalam kebudayaan masyarakat, kayu Seru dilarang untuk diinjak dan dilangkahi.
Khusus dinding, lantai, jendela, dan pintu menggunakan kayu Tembesu, yang mempunyai keunggulan dari segi ekologi dan ekonomi. Kentalnya budaya Sumatera Selatan bisa terlihat dari seni ukiran dan ornamen pintu, dinding, maupun atap Rumah Limas yang menggambarkan nilai-nilai kebudayaan setempat.
Rumah Limas memang mempunyai banyak filosofis yang mendalam, terdiri dari lima tingkat dengan makna dan fungsi yang berbeda-beda. Lima tingkatan ruangan diatur menggunakan filosofi Kekijing, dimana setiap ruangannya diatur berdasarkan penghuninya, yaitu usia, jenis kelamin, bakat, pangkat, serta martabat.
Tingkat pertama atau disebut Pagar Tenggalung merupakan ruangan terhampar luas tanpa dinding pembatas. Ruangan seperti beranda ini difungsikan untuk tempat menerima para tamu yang datang pada saat acara adat. Uniknya, orang luar tidak bisa melihat aktivitas didalam ruangan. Sedangkan dari dalam bisa melihat suasana diluar. Hal menarik lainnya adalah lawang kipas atau pintu yang jika dibuka akan membentuk langit-langit ruangan.
Tingkat kedua atau disebut Joganmerupakan tempat berkumpul diperuntukkan bagi anggota keluarga pemilih rumah yang berjenis kelamin laki-laki. Masuk lebih dalam atau pada Kekijing ketiga, lebih memiliki privasi dibanding ruangan sebelumnya. Posisi lantainya lebih tinggi dan bersekat. Ruangan tingkat tiga ini hanya digunakan oleh tamu undangan khusus ketika pemilik rumah sedang mengadakan hajat.
Khusus orang yang dihormati dan memiliki ikatan darah dengan pemilih rumah, dipersilahkan untuk ke tingkat keempat. Seperti para Dapunto dan Datuk, tamu undangan yang dituakan. Terakhir, tingkat kelima atau disebut Gegajah memiliki ruangan paling luas dibanding ruangan lainnya. Ruangan ini lebih istimewa dan lebih bersifat privasi, hanya dimasuki oleh orang yang mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam keluarga maupun masyarakat. Di dalamnya terdapat undukan lantai untuk bermusyawarah yang disebut Amben, dan kamar pengantin jika pemilik rumah mengadakan pernikahan.
Jika melihat bagian atas atap, terlihat ornamen simbar berbentuk tanduk dan melati. Selain sebagai ornamen, simbar ini berfunsi sebagai penangkal petir. Melati melambangkan keagungan dan kerukungan, simbar dua tanduk berarti Adam dan Hawa, tiga tanduk berarti matahari-bulan-bintang, empat tanduk berarti sahabat nabi, dan simbar dengan lima tanduk melambangkan rukun Islam.
Fakta menarik lainnya, Rumah Limas dibangun menghadap ke arah timur dan barat. Bagian yang mengarah ke barat disebut dengan Matoari Edop atau berarti matahari terbit yang melambangkan kehidupan baru. Sedangkan yang menghadap ke timur disebut dengan Matoari Mati yang berarti matahari terbenam atau melambangkan akhir dari kehidupan.
Kini, Rumah Limas memang sudah jarang dibangun sebagai tempat tinggal. Namun, bukan berarti sudah tidak ada lagi Rumah Limas. Setelah mengenal dan mengetahui fakta Rumah Limas, bagi pengunjung yang penasaran ingin melihat langsung rumah adat ini, bisa berkunjung ke Museum Balaputera Dewa di Jalan Sriwijaya Negara I, Kota Palembang.
Senin, 03 Februari 2020
ANGKLUNG
Kata ‘angklung’ sendiri berasal dari bahasa Sunda ‘angkleung-angkleungan’ yaitu gerakan pemain angklung, serta dari suara ‘klung’ yang dihasilkan instrumen bambu ini. Angklung sebenarnya merupakan pengembangan dari alat musik calung, yaitu tabung bambu yang dipukul. Sementara, angklung merupakan tabung bambu yang digoyang sehingga menghasilkan hanya satu nada untuk setiap instrumennya.
Seiring perkembangan angklung, sejak November 2010, UNESCO telah menetapkan angklung sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia. Salah satu tempat yang masih melestarikan kebudayaan angklung adalah Saung Udjo. Di sanggar yang terletak di Kota Bandung ini, pengunjung tidak hanya dapat melihat berbagai jenis angklung, tapi juga belajar proses pembuatan angklung.
TARI GENDING SRIWIJAYA
Sembilan perempuan keluar panggung dengan mengenakan pakaian adat, lengkap dengan berbagai aksesoris berupa paksangkong, dodot, tanggai, dan seledang mantri. Seorang penari yang berada di tengah dan paling depan membawa sebuah kotak yang biasa disebut dengan tepak, sementara suara gending mengiringi gerak gemulai yang akan membawakan sebuah tarian kolosal dari Sumatera Selatan yang dikenal dengan nama tari Gending Sriwijaya.
Tari Gending Sriwijaya merupakan tarian kolosal peninggalan kerajaan Sriwijaya. Tarian yang dahulu hanya dipentaskan oleh kalangan internal kerajaan ini dimaksudkan sebagai tari penyambutan bagi tamu kerajaan. Kini tari Gending Sriwijaya kerap dipentaskan oleh masyarakat Palembang dalam berbagai hajat, seperti pernikahan, pertemuan-pertemuan instansi pemerintahan, hingga dalam berbagai perhelatan budaya.
Secara umum tari Gending Sriwijaya ditarikan oleh 9 orang penari yang semuanya adalah perempuan. Sembilan penari tersebut merupakan representasi dari sembilan sungai yang ada di Sumatera Selatan. Para penari Gending Sriwijaya dikawal oleh dua orang laki-laki lengkap dengan payung dan tombak di tangannya. Seorang penari gending membawa tepak berisi sekapur sirih yang nantinya akan diberikan kepada tamu yang dianggap spesial sebagai bentuk penghormatan.
Musik yang mengiringi tari Gending Sriwijaya adalah musik yang keluar dari perpaduan alat musik gamelan. Musik gending tersebut dilengkapi dengan vokal yang umumnya menggambarkan kegembiraan dan ucapan syukur atas kesejahteraan. Meski demikian, belakangan tari Gending Sriwijaya tidak melulu diiringi oleh musik gending secara langsung, melainkan hanya menggunakan rekaman dari musik yang sudah ada.
Gerak tari Gending Sriwijaya didominasi oleh gerak membungkuk dan berlutut, sesekali melempar senyum sambil melentikan jari-jari kuku. Gerak tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada para tamu yang datang. Gerakan inti dalam tari Gending Sriwijaya adalah gerak penari utama yang membawakan tepak berisi sekapur sirih untuk diberikan kepada tamu kehormatan. Dahulu pembawa tepak berisi sekapur sirih hanya diperbolehkan bagi mereka remaja puteri dari keturunan Raja.
Tari Gending Sriwijaya merupakan representasi dari nenek moyang nusantara. Tari ini juga sebagai bangsa yang besar, bangsa yang menghargai dan menghormati persaudaraan antar sesamanya. Tarian kolosal ini menggambarkan kegembiraan para gadis, menggambarkan Kerajaan Sriwijaya sebagai tuan rumah yang ramah, yang tulus dan terbuka menyambut tamu, sebagai esensi dari sikap saling menghormati antar sesama manusia, dan bersyukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa.
UPACARA NGABEN
Tujuan berikutnya, adalah dengan mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta. Apa itu Panca Maha Bhuta? Tak lain adalah 5 unsur utama yang membangun badan kasar manusia. Lima unsur itu adalah unsur padat seperti tulang, daging, kuku, apah yang merupakan unsur cair, bayu atau unsur udara, teja, unsur panas, serta akasa yang merupakan unsur ether yang keberadaannya memunculkan rongga pada tubuh manusia.
GAMELAN
Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu–Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit.
Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.
Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.
WAYANG KULIT
Wayang kulit diyakini sebagai embrio dari berbagai jenis wayang yang ada saat ini. Wayang jenis ini terbuat dari lembaran kulit kerbau yang telah dikeringkan. Agar gerak wayang menjadi dinamis, pada bagian siku-siku tubuhnya disambung menggunakan sekrup yang terbuat dari tanduk kerbau.
Wayang kulit dimainkan langsung oleh narator yang disebut dalang. Dalang tidak dapat diperankan oleh sembarang orang. Selain harus lihai memainkan wayang, sang dalang juga harus mengetahui berbagai cerita epos pewayangan seperti Mahabrata dan Ramayana. Dalang dahulu dinilai sebagai profesi yang luhur, karena orang yang menjadi dalang biasanya adalah orang yang terpandang, berilmu, dan berbudi pekerti yang santun.
Sambil memainkan wayang, sang dalang diiringi musik yang bersumber dari alat musik gamelan. Di sela-sela suara gamelan, dilantunkan syair-syair berbahasa Jawa yang dinyanyikan oleh para pesinden yang umumnya adalah perempuan. Sebagai kesenian tradisi yang bernilai magis, sesaji atau sesajen menjadi unsur yang wajib dalam setiap pertunjukan wayang.
Sesajian berupa ayam kampung, kopi, nasi tumpeng, dan hasil bumi lainnya, serta tak lupa asap dari pembakaran dupa selalu ada di setiap pementasan wayang. Tapi, karena banyak yang menganggap sesajian tersebut merupakan suatu hal yang mubazir, belakangan ini sesajian dalam pementasan wayang juga diperuntukkan bagi penonton dalam bentuk makan bersama.
Wayang kulit merupakan kekayaan nusantara yang lahir dari budaya asli masyarakat Indonesia yang mencintai kesenian. Setiap bagian dalam pementasan wayang mempunyai simbol dan makna filosofis yang kuat. Apalagi dari segi isi, cerita pewayangan selalu mengajarkan budi pekerti yang luhur, saling mencintai dan menghormati, sambil terkadang diselipkan kritik sosial dan peran lucu lewat adegan goro-goro. Tidak salah jika UNESCO mengakuinya sebagai warisan kekayaan.
CANDI PRAMBANAN
Candi Prambanan merupakan candi Hindu yang terbesar di Indonesia. Sampai saat ini belum dapat dipastikan kapan candi ini dibangun dan atas perintah siapa, namun kuat dugaan bahwa Candi Prambanan dibangun sekitar pertengahan abad ke-9 oleh raja dari Wangsa Sanjaya, yaitu Raja Balitung Maha Sambu. Dugaan tersebut didasarkan pada isi Prasasti Syiwagrha yang ditemukan di sekitar Prambanan dan saat ini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Prasasti berangka tahun 778 Saka (856 M) ini ditulis pada masa pemerintahan Rakai Pikatan.
Denah asli Candi Prambanan berbentuk persegi panjang, terdiri atas halaman luar dan tiga pelataran, yaitu Jaba (pelataran luar), Tengahan (pelataran tengah) dan Njeron (pelataran dalam). Halaman luar merupakan areal terbuka yang mengelilingi pelataran luar. Pelataran luar berbentuk bujur dengan luas 390 m2. Pelataran ini dahulu dikelilingi oleh pagar batu yang kini sudah tinggal reruntuhan. Pelataran luar saat ini hanya merupakan pelataran kosong. Belum diketahui apakah semula terdapat bangunan atau hiasan lain di pelataran ini.
Di tengah pelataran luar, terdapat pelataran kedua, yaitu pelataran tengah yang berbentuk persegi panjang seluas 222 m2. Pelataran tengah dahulu juga dikelilingi pagar batu yang saat ini juga sudah runtuh. Pelataran ini terdiri atas empat teras berundak, makin ke dalam makin tinggi. Di teras pertama, yaitu teras yang terbawah, terdapat 68 candi kecil yang berderet berkeliling, terbagi dalam empat baris oleh jalan penghubung antarpintu pelataran. Di teras kedua terdapat 60 candi, di teras ketiga terdapat 52 candi, dan di teras keempat, atau teras teratas, terdapat 44 candi. Seluruh candi di pelataran tengah ini mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu luas denah dasar 6 m2 dan tinggi 14 m. Hampir semua candi di pelataran tengah tersebut saat ini dalam keadaan hancur. Yang tersisa hanya reruntuhannya saja.
Pelataran dalam, merupakan pelataran yang paling tinggi letaknya dan yang dianggap sebagai tempat yang paling suci. Pelataran ini berdenah persegi empat seluas 110 m2, dengan tinggi sekitar 1,5 m dari permukaan teras teratas pelataran tengah. Pelataran ini dikelilingi oleh turap dan pagar batu. Di keempat sisinya terdapat gerbang berbentuk gapura paduraksa. Saat ini hanya gapura di sisi selatan yang masih utuh. Di depan masing-masing gerbang pelataran teratas terdapat sepasang candi kecil, berdenah dasar bujur sangkar seluas 1, 5 m2 dengan tinggi 4 m.
Di pelataran dalam terdapat 2 barisan candi yang membujur arah utara selatan. Di barisan barat terdapat 3 buah candi yang menghadap ke timur. Candi yang letaknya paling utara adalah Candi Wisnu, di tengah adalah Candi Syiwa, dan di selatan adalah Candi Brahma. Di barisan timur juga terdapat 3 buah candi yang menghadap ke barat. Ketiga candi ini disebut candi wahana (wahana = kendaraan), karena masing-masing candi diberi nama sesuai dengan binatang yang merupakan tunggangan dewa yang candinya terletak di hadapannya.
Candi yang berhadapan dengan Candi Wisnu adalah Candi Garuda, yang berhadapan dengan Candi Syiwa adalah Candi Nandi (lembu), dan yang berhadapan dengan Candi Brahma adalah Candi Angsa. Dengan demikian, keenam candi ini saling berhadapan membentuk lorong. Candi Wisnu, Brahma, Angsa, Garuda dan Nandi mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu berdenah dasar bujur sangkar seluas 15 m2 dengan tinggi 25 m. Di ujung utara dan selatan lorong masing-masing terdapat sebuah candi kecil yang saling berhadapan, yang disebut Candi Apit.
Batik Indonesia
Batik sendiri berasal dari beberapa wilayah indonesia dengan ciri-khas motif yang berbeda-beda. Dan jenis batik sendiri sekarang juga sudah beragam mulai dari batik tulis dan batik cetak. Dulunya batik dibuat menggunakan alat khusus yaitu canting dan malam untuk melukiskan motif di kain dan sering dikenal dengan sebutan batik tulis. Namun sekarang sudah ada alat batik dengan menggunakan cetakan yang sering anda kenal dengan sebutan batik cetak.
Candi Borobudur
Borobudur dibangun dengan gaya Mandala yang mencerminkan alam semesta dalam kepercayaan Buddha. Struktur bangunan ini berbentuk kotak dengan empat pintu masuk dan titik pusat berbentuk lingkaran. Jika dilihat dari luar hingga ke dalam terbagi menjadi dua bagian yaitu alam dunia yang terbagi menjadi tiga zona di bagian luar, dan alam Nirwana di bagian pusat.